Jumat, 08 Juni 2012

Cogito Ergo Sum

Rene Descartes
Ketika mendengar kata ini kita pasti langsung teringat kepada sosok filsuf asal perancis yang hidup pada abad ke 16 M, René Descartes (ʀəˈne deˈkaʀt) lahir di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596 – meninggal di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun. lalu diejarupakan menjadi patung “manusia berpikir”, olah kriya August Rodin. Karena pernyataannya yang sangat terkenal ini.
  Dalam bahasa indonesia cogito ergo sum dapat diartikan dengan "Aku berpikir maka aku ada". Atau  I think, therefore I am” dalam bahasa inggris. Maksudnya, satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri. Dengan kata lain  Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya, bahkan keberadaan dirinya sendiri. Dia berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.
    di sini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah. Maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi membuat kalimat "ketika berpikir, sayalah yang berpikir" salah. Dengan demikian, Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada.
   Dalam bahasa lain cogito ergo sum ini dapat di analogikan misalnya anda menyatakan bahwa hakikat hidup adalah menjadi manusia yang baik. Maka pertanyannya adalah, apa ukuran kebaikan itu? Lalu siapa yang berhak menentukannya? Lalu anda jawab bahwa kebaikan itu adalah bersikap dan berbuat sesuai hukum Tuhan. Maka muncul lagi petanyaan baru. Siapa itu Tuhan? Lalu anda jawab bahwa Tuhan itu adalah Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan. Maka pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana kita bisa tahu bahwa Tuhan itu ada? Lalu anda jawab bahwa Tuhan ada bisa diketahui melalui kitab suci para Nabi. Karena mereka menerima wahyu langsung dari Tuhan dan wahyu itu dituliskan dalam kitab suci. Maka Descartes belum puas. Dia akan bertanya, bagaimana cara meyakini bahwa memang para Nabi itu menerima wahyu dari Tuhan? Sedang tentang Tuhan itu sendiri belum terjawab? Lalu anda jawab bahwa untuk meyakininya adalah dengan iman. Maka pertanyaan berikutnya adalah: Iman? Apa itu iman? Siapa yang mengklaim bahwa beriman itu adalah ukuran kebenaran bahwa yang diimani itu adalah sebuah kebenaran? Begitulah proses diskursus ini terus berlangsung sampai menemukan “ada” yang sesungguhnya.
   Sebenarnya kata cogito ergosum bukanlah sesuatu yang baru muncul pada abad ke 16, karena jauh sebelum itu dalam dunia islam sudah  ada perkataan yang sangat populer, bahkan ada yang mengatakan kalau ini sebuah hadis “man arofa nafsahu arofa Rabbahu”. Kata ini menjadi wacana penting dalam dunia tasawuf.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

walau bagaimanapun akal tetap harus tunduk kpada wahyu..